Bali salah satu pulau terindah di dunia yang terletak pada wilayah
kesatuan NKRI ini, merupakan wilayah favorit wisatawan manca negara.
Masyarakat Bali sangat kuat adat istiadatnya mereka sangat menjunjung
tinggi dan menjaga tradisi mereka sampai sekarang.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Di karenakan adat yang sangat kental pada masyarakat Bali inilah
sangat mempengaruhi arsitektur pembangunan rumah tinggal mereka. Rumah
adat Bali sampai sekarang masih diterapkan dengan kemajuan jaman era
moderenisasi tidak dapat menggilasnya begitu saja, pemerintah daerah
menerapkan UU mengenai pendirian bangunan di pulau Bali yang harus
menerapkan hukum-hukum adat mereka.
Rumah Bali
harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada
kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir
mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.
Rumah Bali merupakan penerapan dari pada filosofi yang ada pada
masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di terapkan di
dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi
/lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan
tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek
tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek
tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu
dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan
warna-warna yang kontras tai alami. Selain sebagai hiasan mereka juga
mengan arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang
pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung.
Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari suatu tradisi,
kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali itu sendiri yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti rumah,
pura (tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain.
Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak
bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar
yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan
bangunan tidak lagi terpisah-pisah.
Jika dilihat dari sisi geografis,
ada dua jenis rumah di bali yaitu rumah adat yang berada di daerah
dataran tinggi dan rumah adat di daerah dataran rendah. Rumah yang
berada di daerah dataran tinggi pada umumnya berukuran kecil, dan
memiliki jumlah ventilasi yang lebih sedikit, dan beratap rendah. Ini
dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Selain itu
pekarangan rumah juga lebih sempit disebabkan kontur tanah yang tidak
rata. Aktivitas sehari-hari seperti memasak, tidur, hingga ritual
keagamaan dilakukan didalam rumah.
Rumah adat bali
yang terletak di daerah dataran rendah pada umumny memilki ciri
sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka, beratap tinggi, dan
berpekarangan luas. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima
tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari
kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, njineng
untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Rumah keturunan
keluarga raja dan brahmana pekarangannya dibagi menjadi tiga bagian
yaitu njaba sisi (pekarangan depan), njaba tengah (pekarangan tengah)
dan njero (pekarangan untuk tempat tinggal).
Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran tanah yang biasa disebut dengan nyikut karang.
Kemudian dilaksanakan caru pengerukan karang, adalah ritual persembahan
kurban & mohon izin untuk mendirikan rumah hampir sama seperti
meembangun rumah adat jawa. Upacara ritual dilakukan peletakan batu
pertama yang disebut nasarin, bertujuan untuk memohon kekuatan
pada bumi pertiwi agar nanti bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh
serta pekerja atau tukang dilakukan upacara prayascita untuk memohon
bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika seluruh ritual sudah
dijalankan barulah pembangunan dimulai. Masyarakat Bali selalu memulai
dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua
ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah yang
akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya.
Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda
yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam
Budaya China)Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup
akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek
pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah
rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri
Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti
harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya,bangunan
atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa
ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung
arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian
komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi
sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Berjalan-jalan
di seputar Bali tak perlu heran jika di setiap persimpangan jalan, Anda
melihat sesajen di atas wadah dari janur dan ada kembang rupa rupi dan
dupa yang menyala. Pura (baca: pure) pun bertebaran di segala tempat.
Rumah, pertokoan, perkantoran, punya pura. Lalu, apakah Anda pernah
melihat keunikan rumah adat Bali di sana?
Rumah
adat Bali ternyata dibangun sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali
(bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya
Feng Shui dalam Budaya China). Menurut filosofi masyarakat Bali,
kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang
harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan.
Untuk
itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau
yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni
rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni
rumah dan lingkungannya.
Pada
umumnya, bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu
dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam
hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan
simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari
jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan
dalam patung.
Dalam membangun rumah
adat, orang Bali sangat mementingkan arah kemana akan menghadap, karena
arah sangat penting artinya dalam kepercayaan dan kehidupan suku Bali.
Hal-hal yang dianggap keramat atau suci lainnya diletakkan pada arah ke
gunung, karena gunung dianggap suci dan keramat, arah-arah ini disebut
kaja. Sebaliknya hal-hal yang bisa dan tidak dianggap keramat atau suci
diletakkan ke arah laut yang disebut kelod.
Dengan
demikian pura desa yang diangggap suci diletakkan pada arah gunung
(kaja), sedang pura dalem atau kuil yang ada hubungannya dengan kuburan
dan kematian diletakkan ke arah laut atau kelod. Demikianlah dalam soal
susunan perumahan orang-orang Bali tidak dapat melepaskan diri dari
kehidupan keagamaan dan kehidupan adatnya.
Pada
umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu
dipenuhi dengan hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna.
Ukiran maupun pahatan yang ditempatkan pada bangunan tersebut mengambil
tiga kehidupan di bumi, manusia, binatang dan tumbuhan.
Ragam hias/ukiran yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan dari jenis tumbuhan antara lain:
Keketusan yakni
motif tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan serta
bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, biasanya ditempatkan pada
bidang-bidang yang luas. Keketusan ini ada bermacam-macam seperti
keketusan wangsa, keketusan bunga tuwung, keketusan bun-bun dan
lain-lain.
Kekarangan,
suatu pahatan dengan motif suatu karangan yang memyerupai tumbuhan
lebat dengan daun terurai ke bawah atau menyerupai serumpun perdu.
Hiasan ini biasanya dipahatkan pada sudut kebatasan sebelah atas,
disebut karang simbar, dan ditempatkan pada sendi tiang tugek disebut
karang suring.
Pepatran,
merupakan hiasan bermotif bunga-bungaan. Misalnya Patra Sari
ditempatkan pada bidang yang sempit seperti tiang-tiang dan blandar,
patra lainnya adalah patra pid-pid, patra samblung, patra pal, patra
ganggong, patra sulur dan lain-lain, semuanya dalam bentuk berulang atau
berderet memanjang.
Ragam hias
tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan
simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari
jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan
dalam patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan
berbentuk Bedawang nala.
Kadang-kadang
sebagai corak magis lengkap dengan huruf simbol mantra-mantra. Misalnya
hiasan karang bona berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher
ke atas lobang pintu kori Agung atau pada Bade wadah. Hiasan karang sal
berbentuk kepala kelelawar bertanduk dengan gigi runcing ditempatkan di
atas pintu kori atau pintu rumah tinggal dan beberapa tempat lainnya. Type Bangunan Rumah Tradisional Bali
Bangunan perumahan tradisional bali mempunyai beberapa type
dari yang terkecil saka pat bangunan bertiang empat. Membesar bertiang
enam, bertiang delapan, bertiang sembilan dan bertiang dua belas.
Bangunan bertiang dua belas dikembangkan lagi dengan emper kedepan atau
kesamping dengan tiang sejajar.
Type bangunan Tradisional Bali:
- Sakepat bangunan bertiang empat. Bangunan sakapat tergolong bangunan sederhana ukuran sekitar 3 m x 2,5 m. Konstruksi bertiang empat denah segi empat, satu balai balai mengikat tiang atau tanpa balai-balai. Atap dengan konstruksi pelana atau limasan.
- Sakenem. Bangunan sakenem tergolong sederhana berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kalilebar .Ukuran bangunan sekitar 6 m x 2m, mendekati dua kali ukuran sakepat, Konstruksi bangunan terdiri enam tiang berjajar, tiga tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh satu balai-balai atau empat tiang pada satu balai- balai dan dua tiang di teben pada satu balai - balai dengan dua sakapandak. Hubungan balai-balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton,likah dan galar. Konstruksi atap dengan pelana atau limasan
- Sakutus. Bangunan tergolong madia bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang, senggawang tidak ada pada bangunan sakutus. Sistem konstruksi atap dengan pelana.
- Tiangsanga. Tergolong bangunan utama bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran sekitar 4 m x 5 m tiangnya sembilan. Konstruksi bangunan dengan satu balai - balai mengikat empat tiang di teben tiangnya tiga dengan senggawang sebagai stabilitas. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut,tengah-tengah keempat sisi dan ditengan dengan kencut sebagai kepala tiang , Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng,
- Sakaroras. Bangunan tergolong utama bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5 m x 5 m, Jumlah tiang dua belas buah, empat empat tiga deret dari luan keteben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masing-masing di sisi samping dan dua buah di tengah dengan kencut sebagai kepala tiang. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang dengan sunduk, waton/selimar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet diteben dengan senggawang sebagai stabilitas tiang. Bangunan tertutup dua sisi terbuka kearah natah, Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng