Minggu, 20 Juli 2014

Rumah Tradisional Adat Bali

         Bali salah satu pulau terindah di dunia yang terletak pada wilayah kesatuan NKRI ini, merupakan wilayah favorit wisatawan manca negara. Masyarakat Bali sangat kuat adat istiadatnya mereka sangat menjunjung tinggi dan menjaga tradisi mereka sampai sekarang.
Mayoritas penduduk pulau Bali memeluk agama Hindu, Bali terkenal dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Di karenakan adat yang sangat kental pada masyarakat Bali inilah sangat mempengaruhi arsitektur pembangunan rumah tinggal mereka. Rumah adat Bali sampai sekarang masih diterapkan dengan kemajuan jaman era moderenisasi tidak dapat menggilasnya begitu saja, pemerintah daerah menerapkan UU mengenai pendirian bangunan di pulau Bali yang harus menerapkan hukum-hukum adat mereka.
         Rumah Bali harus sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang mengatur soal tata letak sebuah bangunan, hampir mirip seperti ilmu Feng Shui dalam ajaran Budaya China.
         Rumah Bali merupakan penerapan dari pada filosofi yang ada pada masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya, aspek pawongan (manusia / penghuni rumah), pelemahan ( lokasi /lingkungan) dan yang terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana.
        Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional Bali selalu dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna yang kontras tai alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengan arti dan makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbol-simbol ritual seperti patung.
       Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali itu sendiri yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti rumah, pura (tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain.
Umumnya Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan bangunan tidak lagi terpisah-pisah.


        Jika dilihat dari sisi geografis, ada dua jenis rumah di bali yaitu rumah adat yang berada di daerah dataran tinggi dan rumah adat di daerah dataran rendah. Rumah yang berada di daerah dataran tinggi pada umumnya berukuran kecil, dan memiliki jumlah ventilasi yang lebih sedikit, dan beratap rendah. Ini dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan tetap hangat. Selain itu pekarangan rumah juga lebih sempit disebabkan kontur tanah yang tidak rata. Aktivitas sehari-hari seperti memasak, tidur, hingga ritual keagamaan dilakukan didalam rumah.
         Rumah adat bali yang terletak di daerah dataran rendah pada umumny memilki ciri sebaliknya, memiliki banyak ruang terbuka, beratap tinggi, dan berpekarangan luas. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, njineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Rumah keturunan keluarga raja dan brahmana pekarangannya dibagi menjadi tiga bagian yaitu njaba sisi (pekarangan depan), njaba tengah (pekarangan tengah) dan njero (pekarangan untuk tempat tinggal).
       Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran tanah yang biasa disebut dengan nyikut karang. Kemudian dilaksanakan caru pengerukan karang, adalah ritual persembahan kurban & mohon izin untuk mendirikan rumah hampir sama seperti meembangun rumah adat jawa. Upacara ritual dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin, bertujuan untuk memohon kekuatan pada bumi pertiwi agar nanti bangunan rumah menjadi kuat dan kokoh serta pekerja atau tukang dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika seluruh ritual sudah dijalankan barulah pembangunan dimulai. Masyarakat Bali selalu memulai dan mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah yang akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya. 
      Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
       Pada umumnya,bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
 
Berjalan-jalan di seputar Bali tak perlu heran jika di setiap persimpangan jalan, Anda melihat sesajen di atas wadah dari janur dan ada kembang rupa rupi dan dupa yang menyala. Pura (baca: pure) pun bertebaran di segala tempat. Rumah, pertokoan, perkantoran, punya pura. Lalu, apakah Anda pernah melihat keunikan rumah adat Bali di sana?
rmhbali1        Rumah adat Bali ternyata dibangun sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China). Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan.
    Untuk itu, pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya.
rmhbali2      Pada umumnya, bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
      Dalam membangun rumah adat, orang Bali sangat mementingkan arah kemana akan menghadap, karena arah sangat penting artinya dalam kepercayaan dan kehidupan suku Bali. Hal-hal yang dianggap keramat atau suci lainnya diletakkan pada arah ke gunung, karena gunung dianggap suci dan keramat, arah-arah ini disebut kaja. Sebaliknya hal-hal yang bisa dan tidak dianggap keramat atau suci diletakkan ke arah laut yang disebut kelod.
rmhbali3       Dengan demikian pura desa yang diangggap suci diletakkan pada arah gunung (kaja), sedang pura dalem atau kuil yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian diletakkan ke arah laut atau kelod. Demikianlah dalam soal susunan perumahan orang-orang Bali tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan keagamaan dan kehidupan adatnya.
        Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi dengan hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ukiran maupun pahatan yang ditempatkan pada bangunan tersebut mengambil tiga kehidupan di bumi, manusia, binatang dan tumbuhan.
rmhbali4Ragam hias/ukiran yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan dari jenis tumbuhan antara lain:
      Keketusan yakni motif tumbuhan yang dibuat dengan lengkungan-lengkungan serta bunga-bunga besar dan daun-daun yang lebar, biasanya ditempatkan pada bidang-bidang yang luas. Keketusan ini ada bermacam-macam seperti keketusan wangsa, keketusan bunga tuwung, keketusan bun-bun dan lain-lain.
    Kekarangan, suatu pahatan dengan motif suatu karangan yang memyerupai tumbuhan lebat dengan daun terurai ke bawah atau menyerupai serumpun perdu. Hiasan ini biasanya dipahatkan pada sudut kebatasan sebelah atas, disebut karang simbar, dan ditempatkan pada sendi tiang tugek disebut karang suring.
     Pepatran, merupakan hiasan bermotif bunga-bungaan. Misalnya Patra Sari ditempatkan pada bidang yang sempit seperti tiang-tiang dan blandar, patra lainnya adalah patra pid-pid, patra samblung, patra pal, patra ganggong, patra sulur dan lain-lain, semuanya dalam bentuk berulang atau berderet memanjang.
      Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan berbentuk Bedawang nala.
     Kadang-kadang sebagai corak magis lengkap dengan huruf simbol mantra-mantra. Misalnya hiasan karang bona berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lobang pintu kori Agung atau pada Bade wadah. Hiasan karang sal berbentuk kepala kelelawar bertanduk dengan gigi runcing ditempatkan di atas pintu kori atau pintu rumah tinggal dan beberapa tempat lainnya.

Type Bangunan Rumah Tradisional Bali

         Bangunan perumahan tradisional bali mempunyai beberapa type dari yang  terkecil saka pat bangunan bertiang empat. Membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang sembilan dan bertiang dua belas. Bangunan bertiang dua belas dikembangkan lagi dengan emper kedepan atau kesamping dengan tiang sejajar.

Type bangunan  Tradisional Bali:

  1. Sakepat bangunan bertiang empat.  Bangunan sakapat tergolong bangunan sederhana ukuran sekitar  3 m x 2,5 m. Konstruksi bertiang empat denah segi empat, satu balai balai mengikat tiang atau tanpa balai-balai. Atap dengan konstruksi pelana atau limasan.
  2. Sakenem. Bangunan sakenem tergolong sederhana berbentuk  segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kalilebar .Ukuran bangunan sekitar  6 m x 2m, mendekati dua kali ukuran sakepat, Konstruksi bangunan terdiri enam tiang berjajar, tiga tiga pada kedua sisi panjang.  Keenam tiang disatukan oleh satu balai-balai atau empat tiang pada satu balai- balai dan dua tiang di teben pada satu balai - balai dengan dua sakapandak. Hubungan balai-balai dengan konstruksi perangkai sunduk waton,likah dan galar. Konstruksi atap dengan pelana atau limasan
  3. Sakutus. Bangunan tergolong madia bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran 5 m x 2,5 m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat empat menjadi dua balai-balai. Masing-masing balai memanjang kaja kelod dengan kepala kearah luan kaja. Tiang tiang dirangkaikan dengan sunduk waton/selimar, likah dan galar. Stabilitas konstruksi dengan  sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang, senggawang tidak ada pada bangunan sakutus. Sistem konstruksi atap dengan pelana.
  4. Tiangsanga.  Tergolong bangunan utama bentuk bangunan segi empat panjang, dengan ukuran sekitar 4 m x 5 m tiangnya sembilan. Konstruksi bangunan dengan satu balai - balai mengikat empat tiang di teben tiangnya tiga dengan senggawang sebagai stabilitas. Letak tiang masing-masing pada keempat sudut,tengah-tengah keempat sisi dan ditengan dengan kencut sebagai kepala tiang , Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng,
  5. Sakaroras.  Bangunan tergolong utama bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5 m x 5 m, Jumlah  tiang dua belas buah, empat empat tiga deret dari luan keteben. Letak tiang empat buah masing-masing sebuah di sudut-sudut, empat buah masing-masing dua buah di sisi luan dan teben. Dua buah masing-masing di sisi samping dan dua buah di tengah dengan kencut sebagai kepala tiang. Dua balai-balai masing-masing mengikat empat-empat tiang dengan sunduk, waton/selimar dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet diteben dengan senggawang sebagai stabilitas tiang. Bangunan tertutup dua sisi terbuka kearah natah, Konstruksi atap atap dengan limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang atau genteng

Minggu, 22 Desember 2013

Kritik Tentang Mall Mandonga Kendari

A.   Pengantar Terhadap Bangunan
Bangunan Mall Mandonga Kendari adalah pusat perbelanjaan yang ada di kota ini, dimana fungsi dan kegunaannya untuk melayani kebutuhan masyarakat dari kalangan atas maupun bawah.
 Bangunan ini berdiri pada tahun 2003 pada pemerintahan bapak Gubernur Ali Mazi, SH, keinginan pemerintah kota kendari mendirikan bangunan ini sebelumnya mendapat kritik pedas dan perlawanan dari warga terutama warga pedagang di daerah Kelurahan mandonga. Tetapi setelah lewat musyawarah mufakat terutama penyelesaian pembebasan lahan warga dan ganti rugi hal ini dapat teratasi.
 Bangunan ini berdiri di daerah Kelurahan Mandonga Jalan Jend. A. Yani Kota Kendari Sulawesi Tenggara.
Filosofi bangunan ini menganut pola desain kedaerahan yang di tuangkan dalam bentuk desain, filosofi yang diambil adalah filosofi daerah Tolaki. Suku Tolaki adalah suku asli daerah kendari provinsi Sulawesi Tenggara, penerapan terhadap desain dapat dilihat langsung dari entrance bangunan para pengunjung di sambut dengan pintu masuk bangunan yang elegan daerah tolaki serta di dukung gaya langgam yang ada di atas pintu masuk serta daerah utara dan selatan bangunan ini.
Wujud Bangunan Mall Mandonga terbagi atas dua bangunan dimana warga di sajikan pelayanan kebutuhan sandang, pangan dan pakaian di tempat ini. Area depan pada site plan Mall Mandonga adalah pelayanan kebutuhan pakaian sedangkan area Back room adalah pelayanan kebutuhan Masyarakat Kota dalam sandang dan pangan atau yang disebut pasar basah.
B.   Tanggapan Terhadap Arsitektur Bangunan
1.                 Arah Depan Mall Mandonga (Utara)
  •   Tampilan Bangunan Mall Mandonga Kendari mengacu pada arsitektur modern dimana gaya bangunan mengikuti tren tahun ini, penekanan pada style minimalis dan rasionalis sangat mencolok di tampilkan.
  •   Tidak tersedianya Plaza sebagai sarana pendukung sebuah Mall sangat dirasakan dimana plaza adalah wujud hubungan bangunan dan halaman sehingga ruang luar dapat mendukung kokohnya bangunan dan pelayanan ruang luar dapat lebih terlihat. 
  •  Pada Bangunan ini diberi pembatas area, pagar stainless mengelilingi bangunan ini, semestinya dalam bentuk bangunan yang berfungsi melayani kebutuhan masyarakat sebaiknya penggunaan pagar bisa di transformasi kan bentuk yang lebih soft seperti penggunaan tanaman.
  •  Letak bangunan yang tidak mendukung persyaratan kode etik arsitektur, yang harus diterjemahkan dalam wujud desain perbandingan 40 : 60 pengguanaan lahan. Pada bangunan Mall Mandonga mementingkan efektifitas penggunaan area semaksimal mungkin, kemungkinan dalam perencanaan pertimbangan ini berada pada secondline project dimana efek yang ditimbulkan sangat terasa pada saat kita berada langsung di area bangunan Mall Mandonga Kendari bisa kita lihat pada gambar B.1.2, hall ini seharusnya dihindari atau dicari alternatifnya.
  •  Arus lalu lintas depan bangunan kondisi maksimal aktifitas kendaraan terjadi pada pukul 12.00 siang kendaraan terlihat padat merayap, hal ini menjadi salah satu efek yang di timbulkan dari tidak diterapkannya penggunaan perbandingan 40 : 60 diatas yaitu berpengaruh juga pada penampilan dan estetika.
  •  
    2.    Arah Samping Mall mandonga (Timur dan Barat)
    •   Secara visualisasi bangunan ini terlihat melebar dan hampir mengambil semua lahan site plan bangunan, hall ini team perencananya menggunakan garis-garis untuk pendukung bangunan agar terlihat tinggi. Sirip-sirip mengelilingi hampir di semua sudut bangunan ini yang berfungsi sebagai pemecah angin serta pendukung style bangunan modern.
    •   Penggunaan warna sudah memenuhi kriteria bangunan komersil, kekurangannya tidak banyak menggunakan papan reklame.
    •   Perpaduan gaya kotak-kotak dan sepatu kuda gaya klasik terlihat terlalu monoton dan sedikit membosankan ditambah dengan pilar selasar yang menggunakan lingkar lebar. Model ini menjadi poin yang mungkin harus dirubah karena gaya yang ditampilkan akan membuat terhalangnya view dan visualisasi grammer.
    • Area parkir kendaraan pada area bangunan sangat carut marut dan tidak terencana dengan baik, hampir disemua sudut area bangunan dijadikan lahan parkir. Hal ini harus dirubah dengan menggunakan tempat parkir vertikal karena akan merusak view, estetika dan merusak fasilitas pejalan kaki dimana pengunjung akan merasa tidak nyaman, secara tidak langsung akan menjadi penilaian negatif terhadap perkembangan arsitektur dan perkembangan infrastruktur kota. 

       KESIMPULAN
      Arsitektur yang diterapkan menggunakan filosofi dari adat tolaki pada bangunan Mall Mandonga sangatlah menjadi perencanaan yang harus terus menjadi pilihan saat ini dalam menghadapi modernisasi perkembangan Arsitektur serta perencanaan infrastruktur dewasa ini harus juga menjadi perhatian kita karena segi estetika bangunan, kenyamanan yang ada pada fasilitas bangunan dan fasilitas umum adalah menjadi cermin budaya dan image kota yang ramah. Apa yang terjadi dewasa ini terutama infrastrukur kota harus terjadi perubahan yang signifikan karena kemajuan kota bukan hanya dilihat dari aspek pelayanan jasa dan sumber daya manusianya akan tetapi perkembangan infrastruktur dan arsitektur bangunan dapat mendukung perkembangan kota itu sendiri.
      Arsitektur dengan nilai seni yang tinggi dapat menjadi daya tarik dan daya jual untuk menarik investasi dan pariwisata, bukan hanya itu hall ini dapat menjadi kepuasan emosional bagi seorang arsitek maupun masyarakat kota kendari, perhatian yang baik terhadap infrastruktur dan peningkatan ide desain arsitektural menjadi total point dalam kondisi kota kendari yang sedang melangkah menuju perkembangan zaman saat kini dan mendatang.